Sabtu, 28 November 2015

Kisah Abu Qudamah dengan Wanita Pemiliki Tali Kekang Kuda

Abu Qudamah dahulu dikenal sebagai
orang yang hatinya dipenuhi kecintaan
akan jihad fi sabilillah. Tidak pernah
dia mendengar akan jihad fi sabilillah,
atau adanya perang antara kaum
muslimin dengan orang kafir, kecuali
dia selalu ikut serta bertempur di
pihak kaum muslimin.
Suatu ketika saat ia sedang duduk-
duduk di Masjidil Haram, ada
seseorang yang menghampirinya
seraya berkata: "Hai Abu Qudamah,
anda adalah orang yang gemar
berjihad di jalan Allah, maka
ceritakanlah peristiwa paling ajaib
yang pernah kau alami dalam
berjihad."
"Baiklah, aku akan menceritakannya
bagi kalian," kata Abu Qudamah.
"Suatu ketika aku berangkat bersama
beberapa sahabatku untuk memerangi
kaum Salibis di beberapa pos
penjagaan dekat perbatasan. Dalam
perjalanan itu aku melalui kota Raqqah
(sebuah kota di Irak, dekat sungai
Eufrat). Di sana aku membeli seekor
unta yang akan kugunakan untuk
membawa persenjataanku. Di samping
itu aku mengajak warga kota lewat
masjid-masjid, untuk ikut serta dalam
jihad dan berinfak fi sabilillah.
Menjelang malam harinya, ada orang
yang mengetuk pintu. Tatkala
kubukakan, ternyata ada seorang
wanita yang menutupi wajahnya
dengan gaunnya.
"Apa yang anda inginkan?" tanyaku.
"Andakah yang bernama Abu
Qudamah?" katanya balik bertanya.
"Benar," jawabku.
"Andakah yang hari ini mengumpulkan
dana untuk membantu jihad di
perbatasan?" tanyanya kembali.
"Ya, benar," jawabku.
Maka wanita itu menyerahkan secarik
kertas dan sebuah bungkusan terikat,
kemudian berpaling sambil menangis.
Pada kertas itu tertulis, "Anda
mengajak kami untuk ikut berjihad,
namun aku tidak sanggup untuk itu.
Maka kupotong dua buah kuncir
kesayanganku1 agar Anda jadikan
sebagai tali kuda Anda. Kuharap bila
Allah melihatnya pada kuda Anda
dalam jihad, Dia mengampuni dosaku
karenanya."
"Demi Allah, aku kagum atas semangat
dan kegigihannya untuk ikut berjihad,
demikian pula dengan kerinduannya
untuk mendapat ampunan Allah dan
Surga-Nya," kata Abu Qudamah.
Keesokan harinya, aku bersama
sahabatku beranjak meninggalkan
Raqqah. Tatkala kami tiba di benteng
Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba
dari belakang ada seseorang
penunggang kuda yang memanggil-
manggil,
"Hai Abu Qudamah.. Hai Abu
Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga
Allah merahmatimu, " teriak orang itu.
"Kalian berangkat saja duluan, biar
aku yang mencari tahu tentang orang
ini," perintahku kepada para
sahabatku.
Ketika aku hendak menyapanya, orang
itu mendahuluiku dan mengatakan,
"Segala puji bagi Allah yang
mengizinkanku untuk ikut bersamamu,
dan tidak menolak keikutsertaanku. "
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
"Aku ingin ikut bersamamu memerangi
orang-orang kafir," jawabnya.
"Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat,
kalau engkau memang cukup dewasa
dan wajib berjihad, akan aku terima.
Namun jika masih kecil dan tidak wajib
berjihad, terpaksa kutolak." kataku.
Ketika ia menyingkap wajahnya,
tampaklah olehku wajah yang putih
bersinar bak bulan purnama. Ternyata
ia masih muda belia, dan umurnya baru
17 tahun.
"Wahai anakku, apakah kamu memiliki
ayah?" tanyaku.
"Ayah terbunuh di tangan kaum
Salibis dan aku ingin ikut bersamamu
untuk memerangi orang-orang yang
membunuh ayahku," jawabnya.
"Bagaimana dengan ibumu, masih
hidupkah dia?" tanyaku lagi.
"Ya," jawabnya.
"Kembalilah ke ibumu dan rawatlah ia
baik-baik, karena surga ada di bawah
telapak kakinya," pintaku kepadanya.
"Kau tidak kenal ibuku?" tanyanya
"Tidak," jawabku.
"Ibuku ialah pemilik titipan itu,"
katanya.
"Titipan yang mana," tanyaku
"Dialah yang menitipkan tali kuda itu,"
jawabnya.
"Tali kuda yang mana?" tanyaku
keheranan.
"Subhanallah. .!! Alangkah pelupanya
Anda ini, tidak ingatkah Anda dengan
wanita yang datang tadi malam
menyerahkan seutas tali kuda dan
bingkisan?"
"Ya , aku ingat," jawabku.
"Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk
berjihad bersamamu dan mengambil
sumpah dariku supaya aku tidak
kembali lagi," katanya.
"Ibuku berkata, "Wahai anakku, jika
kamu telah berhadapan dengan musuh,
maka janganlah kamu melarikan diri.
Persembahkanlah jiwamu untuk Allah.
Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan
mintalah agar engkau ditempatkan
bersama ayah dan paman-pamanmu di
Jannah. Jika Allah mengaruniaimu mati
syahid, maka mintalah syafa'at
bagiku."
Kemudian ibu memelukku, lalu
menengadahkan kepalanya ke langit
seraya berkata, "Ya Allah.. ya Ilahi..
inilah puteraku, buah hati dan belahan
jiwaku, kupersembahkan dia untukmu,
maka dekatkanlah dia dengan
ayahnya."
"Aku benar-benar takjub dengan
anak ini," kata Abu Qudamah, lalu
anak itupun segera menyela,
"Karenanya, kumohon atas nama
Allah, janganlah engkau halangi aku
untuk berjihad bersamamu. Insya Allah
akulah asy-syahid putra asy-syahid.
Aku telah hafal al-Qur'an. Aku juga
jago menunggang kuda dan memanah.
Maka janganlah meremehkanku hanya
karena usiaku yang masih belia," kata
anak itu memelas.
Setelah mendengar uraiannya aku
tidak kuasa melarangnya, maka
kusertakanlah ia bersamaku.
Demi Allah, ternyata tidak pernah
kulihat orang yang lebih cekatan
darinya. Ketika pasukan bergerak,
dialah yang tercepat ketika kami
singgah untuk beristirahat, dialah
yang paling sibuk mengurus kami,
sedang lisannya tidak pernah berhenti
dari dzikrullah sama sekali.
Kemudian kamipun singgah di suatu
tempat dekat pos perbatasan. Saat itu
matahari hampir tenggelam dan kami
dalam keadaan berpuasa. Maka ketika
kami hendak menyiapkan hidangan
untuk berbuka dan makan malam,
bocah itu bersumpah atas nama Allah
bahwa ialah yang akan
menyiapkannya. Tentu saja kami
melarangnya karena ia baru saja
kecapaian selama perjalanan panjang
tadi.
Akan tetapi bocah itu bersikeras untuk
menyiapkan hidangan bagi kami. Maka
ketika kami beristirahat di suatu
tempat, kami katakan kepadanya,
"Menjauhlah sedikit agar asap kayu
bakarmu tidak mengganggu kami."
Maka bocah itupun mengambil tempat
yang agak jauh dari kami untuk
memasak. Akan tetapi bocah itu tidak
kunjung tiba. Mereka merasa bahwa ia
agak terlambat menyiapkan hidangan
mereka.
"Hai Abu Qudamah, temuilah bocah itu.
Ia sudah terlalu lama memasak. Ada
apa dengannya?" pinta seseorang
kepadaku. Lalu aku bergegas
menemuinya, maka kudapati bocah itu
telah menyalakan api unggun dan
memasak sesuatu di atasnya. Tapi
karena terlalu lelah, iapun tertidur
sambil menyandarkan kepalanya pada
sebuah batu.
Melihat kondisinya yang seperti itu,
sungguh demi Allah aku tidak sampai
hati mengganggu tidurnya, namun aku
juga tidak mungkin kembali kepada
sahabat-sahabatku dengan tangan
hampa, karena sampai sekarang kami
belum menyantap apa-apa.
Akhirnya kuputuskan untuk
menyiapkan makanan itu sendiri.
Akupun mulai meramu masakannya,
dan sambil menyiapkan masakan,
sesekali aku melirik bocah itu. Suatu
ketika terlihat olehku bahwa bocah itu
tersenyum. Lalu perlahan senyumnya
makin melebar dan mulailah ia tertawa
kegirangan.
Aku merasa takjub melihat tingkahnya
tadi, kemudian ia tersentak dari
mimpinya dan terbangun.
Ketika melihatku menyiapkan masakan
sendirian, ia nampak gugup dan buru-
buru mengatakan, "Paman, maafkan
aku, nampaknya aku terlambat
menyiapkan makanan bagi kalian."
"Ah tidak, kamu tidak terlambat kok,"
jawabku.
"Sudah, tinggalkan saja masakan ini,
biar aku yang menyiapkannya, aku
adalah pelayan kalian selama jihad,"
kata bocah itu.
"Tidak," sahutku, "Demi Allah, engkau
tidak kuizinkan menyiapkan apa-apa
bagi kami sampai engkau menceritakan
kepadaku apa yang membuatmu
tertawa sewaktu tidur tadi?
Keadaanmu sungguh mengherankan, "
lanjutku.
"Paman, itu sekedar mimpi yang
kulihat sewaktu tidur," kata si bocah.
"Mimpi apa yang engkau lihat?"
tanyaku.
"Sudahlah, tidak usah bertanya
tentangnya. Ini masalah pribadi
antara aku dengan Allah," sahut
bocah itu.
"Tidak bisa "Mimpi apa yang engkau
lihat?" tanyaku.
"Sudahlah, tidak usah bertanya
tentangnya. Ini masalah pribadi
antara aku dengan Allah," sahut
bocah itu.
"Tidak bisa, kumohon atas nama Allah
agar kamu menceritakannya, " kataku.
"Paman, dalam mimpi tadi aku melihat
seakan aku berada di Jannah,
kudapati Jannah itu dalam segala
keindahan dan keanggunannya,
sebagaimana yang Allah ceritakan
dalam al-Qur'an.
Ketika aku jalan-jalan di dalamnya
dengan terkagum-kagum, tiba-tiba
tampaklah olehku sebuah istana megah
yang berkilauan, dindingnya dari emas
dan perak, terasnya dari mutiara dan
batu permata, dan gerbangnya dari
emas.
Di teras itu ada kerai-kerai yang
terjuntai, lalu perlahan kerai itu
tersingkap dan tampaklah gadis-gadis
belia nan cantik jelita, wajah mereka
bersinar bak rembulan."
Kutatap wajah-wajah cantik itu
dengan penuh kekaguman, sungguh,
kecantikan yang luar biasa, gumamku,
lalu muncullah seorang gadis lain yang
lebih cantik dari mereka, dengan
telunjuknya ia memberi isyarat kepada
gadis yang ada di sampingnya seraya
mengatakan, "Inilah (calon) suami al-
Mardhiyyah. . ya, dialah calon
suaminya.. benar, dialah orangnya!"
Aku tidak paham siapa itu al-
Mardhiyyah, maka aku bertanya
kepadanya, "Kamukah al-Mardhiyyah.
.?"
"Aku hanyalah satu di antara
dayang-dayang al-Mardhiyyah. ."
katanya. "Anda ingin bertemu dengan
al-Mardhiyyah. .?" tanya gadis itu.
"Kemarilah.. masuklah ke sini, semoga
Allah merahmatimu, " serunya.
Tiba-tiba kulihat diatasnya ada
sebuah kamar dari emas merah.. dalam
kamar itu ada dipan yang
bertahtakan permata hijau dan kaki-
kakinya terbuat dari perak putih yang
berkilauan.
Dan di atasnya.. seorang gadis belia
dengan wajah bersinar laksana surya!!
Kalaulah Allah tidak memantapkan
hati dan penglihatanku, niscaya
butalah mataku dan hilanglah akalku
karena tidak kuasa menatap
kecantikannya. .!!!
Tatkala ia menatapku, ia
menyambutku seraya berkata,
"Selamat datang, hai Wali Allah dan
Kekasih-Nya. Aku diciptakan untukmu,
dan engkau adalah milikku."
Mendengar suara merdu itu, aku
berusaha mendekatinya dan
menyentuhnya. . namun sebelum
tanganku sampai kepadanya, ia
berkata, "Wahai kekasihku dan
tambatan hatiku.. semoga Allah
menjauhkanmu dari segala kekejian..
urusanmu di dunia masih tersisa
sedikit. Insya Allah besok kita akan
bertemu selepas Ashar."
Akupun tersenyum dan senang
mendengarnya. "
Abu Qudamah melanjutkan, "Usai
mendengar cerita si bocah yang indah
tadi, aku berkata kepadanya, "Insya
Allah mimpimu merupakan pertanda
baik."
Lalu kamipun menyantap hidangan tadi
bersama-sama, kemudian meneruskan
perjalanan kami menuju pos
perbatasan.
Setibanya di pos perbatasan kami
menurunkan semua muatan dan
bermalam di sana. Keesokan harinya
setelah menunaikan shalat fajar, kita
bergerak ke medan pertempuran untuk
menghadapi musuh.
Sang komandan bangkit untuk
mengatur barisan. Ia membaca
permulaan Surat al-Anfaal. Ia
mengingatkan kami akan besarnya
pahala jihad fi sabilillah dan mati
syahid, sambil terus mengobarkan
semangat jihad kaum muslimin.
Abu Qudamah menceritakan, "Tatkala
kuperhatikan orang-orang di
sekitarku, kudapati masing-masing
dari mereka mengumpulkan sanak
kerabatnya di sekitarnya. Adapun si
bocah, ia tidak punya ayah yang
memanggilnya, atau paman yang
mengajaknya, dan tidak pula saudara
yang mendampinginya.
Akupun terus mengikuti dan
memperhatikan gerak-geriknya, lalu
terlihatlah olehku bahwa ia berada di
barisan terdepan. Maka segeralah
kukejar dia, kusibak barisan demi
barisan hingga sampai kepadanya,
kemudian aku berkata, "Wahai anakku,
punyakah engkau pengalaman
berperang..? ""Tidak.. tidak pernah.
Ini justru pertempuranku yang
pertama kali melawan orang kafir,"
jawab si bocah.
"Wahai anakku, sesungguhnya perkara
ini tidak segampang yang engkau
bayangkan, ini adalah peperangan.
Sebuah pertumpahan darah di tengah
gemerincingnya pedang, ringkikan
kuda, dan hujan panah.
Wahai anakku, sebaiknya engkau ambil
posisi di belakang saja. Jika kita
menang engkaupun ikut menang,
namun jika kita kalah engkau tidak
menjadi korban pertama," pintaku
kepadanya.
Lalu dengan tatapan penuh keheranan
ia berkata, "Paman, engkau berkata
seperti itu kepadaku..!? "
"Ya, aku mengatakan seperti itu
kepadamu," jawabku.
"Paman.. apa engkau menginginkanku
jadi penghuni neraka..?" tanyanya.
"A'uudzubillaah! ! Sungguh, bukan
begitu.. kita semua tidak berada di
medan jihad seperti ini kecuali karena
lari dari neraka dan memburu surga,"
jawabku.
Lalu kata si bocah, "Sesungguhnya
Allah berfirman,
Hai orang-orang beriman, apabila
kamu bertemu orang-orang kafir
yang sedang menyerangmu, maka
janganlah kamu membelakangi mereka
(mundur) . Barangsiapa yang
membelakangi mereka (mundur) di
waktu itu, kecuali berbelok untuk
(siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan
lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali membawa kemurkaan dari
Allah, dan tempatnya ialah neraka
Jahanam. Dan amat buruklah tempat
kembvalinya itu."(QS. Al-Anfaal:
15-16)
"Adakah Paman menginginkan aku
berpaling membelakangi mereka
sehingga tempat kembaliku adalah
neraka?" tanya si bocah.
Akupun heran dengan kegigihannya
dan sikapnya yang memegang teguh
ayat tersebut. Kemudian aku berusaha
menjelaskan, "Wahai anakku, ayat itu
maksudnya bukan seperti yang engkau
katakan." Namun tetap saja ia
bersikeras tidak mau pindah ke
belakang. Akupun menarik tangannya
secara paksa, membawa ke akhir
barisan. Namun ia justru menarik
lengannya kembali seakan ingin
melepaskan diri dari genggamanku.
Lalu perangpun dimulai dan aku
terhalang oleh pasukan berkuda
darinya.
Dalam kancah pertempuran itu
terdengarlah derap kaki kuda, diiringi
gemerincing pedang dan hujan panah,
lalu mulailah kepala-kepala berjatuhan
satu-persatu. Bau anyir darah
tercium di mana-mana. Tangan dan
kaki bergelimpangan. Dan tubuh-tubuh
tidak bernyawa tergeletak bersimbah
darah.
Demi Allah, perang itu telah
menyibukkan tiap orang akan dirinya
sendiri dan melalaikan orang lain.
Sabetan dan kilatan pedang di atas
kepala yang tidak henti-hentinya,
menjadikan suhu memuncak, seakan-
akan ada tungku tanur yang menyala
di atas kami.
Perangpun makin memuncak, kedua
pasukan bertempur habis-habisan
sampai matahari tergelincir dan masuk
waktu zhuhur. Ketika itulah Allah
berkenan menganugerahkan
kemenangan bagi kaum muslimin, dan
pasukan Salib lari tunggang-
langgang.
Setelah mereka terpukul mundur, aku
berkumpul bersama beberapa orang
sahabatku untuk menunaikan shalat
zhuhur. Selepas shalat, mulailah
masing-masing dari kita mencari
sanak keluarganya di antara para
korban.
Sedangkan si bocah.. maka tidak
seorangpun yang mencarinya atau
menanyakan kabarnya. Maka
kukatakan dalam hati, "Aku harus
mencarinya dan menyelidiki
keadaannya, barangkali ia terbunuh,
terluka atau jatuh dalam tawanan
musuh?"
Akupun mulai mencarinya di tengah
para korban, aku menoleh ke kanan
dan kiri kalau-kalau ia terlihat olehku.
Di saat itulah aku mendengar ada
suara lirih di belakangku yang
mengatakan, "Saudara-saudara. .
tolong panggilkan pamanku Abu
Qudamah kemari.. panggilkan Abu
Qudamah kemari."
Aku menoleh kearah suara tadi,
ternyata tubuh itu ialah tubuh si
bocah dan ternyata puluhan tombak
telah menusuk tubuhnya. Ia babak
belur terinjak pasukan berkuda. Dari
mulutnya keluar darah segar.
Dagingnya tercabik-cabik dan
tulangnya remuk total.
Ia tergeletak seorang diri di tengah
padang pasir. Maka aku segera
bersimpuh di hadapannya dan
berteriak sekuat tenagaku, "Akulah
Abu Qudamah..!! Aku ada di
sampingmu..! !"
"Segala puji bagi Allah yang masih
menghidupkanku hingga aku dapat
berwasiat kepadamu.. maka dengarlah
baik-baik wasiatku ini.." kata si bocah.
Abu Qudamah mengatakan, sungguh
demi Allah, tidak kuasa menahan
tangisku. Aku teringat akan segala
kebaikannya, sekaligus sedih akan
ibunya yang tinggal di Raqqah. Tahun
lalu ia dikejutkan dengan kematian
suami dan saudara-saudaranya, lalu
sekarang dikejutkan dengan kematian
anaknya.
Aku menyingsingkan sebagian kainku
lalu mengusap darah yang menutupi
wajah polos itu. Ketika ia merasakan
sentuhanku ia berkata, "Paman..
usaplah darahku dengan pakaianku,
dan jangan engkau usap dengan
pakaianmu."
Demi Allah, aku tidak kuasa menahan
tangisku dan tidak tahu harus berkata
apa. Sesaat kemudian, bocah itu
berkata dengan suara lirih, "Paman..
berjanjilah bahwa sepeninggalku nanti
engkau akan kembali ke Raqqah, dan
memberi kabar gembira bagi ibuku
bahwa Allah telah menerima
hadiahnya, dan bahwa anaknya telah
gugur di jalan Allah dalam keadaan
maju dan pantang mundur. Sampaikan
pula kepadanya jikalau Allah
menakdirkanku sebagai syuhada, akan
kusampaikan salamnya untuk ayah dan
paman-pamanku di jannah.
Paman.. aku khawatir kalau nanti ibu
tidak mempercayai ucapanmu. Maka
ambillah pakaianku yang berlumuran
darah ini, karena bila ibu melihatnya
ia akan yakin bahwa aku telah
terbunuh, dan insyaaAllah kami
bertemu kembali di jannah.
Paman.. setibanya engkau di rumahku,
akan engkau temui seorang gadis kecil
berumur sembilan tahun. Ia adalah
saudariku.. tidak pernah aku masuk
rumah kecuali ia sambut dengan
keceriaan, dan tidak pernah aku pergi
kecuali diiringi isak tangis dan
kesedihannya. Ia sedemikian kaget
ketika mendengar kematian ayah
tahun lalu, dan sekarang ia akan
kaget mendengar kematianku.
Ketika melihatku mengenakan pakaian
safar ia berkata dengan berat hati,
"Kak.. jangan engkau tinggalkan kami
lama-lama.. segeralah pulang.. !!"
Paman.. jika engkau bertemu
dengannya maka hiburlah hatinya
dengan kata-kata yang manis.
Katakan kepadanya bahwa kakakmu
mengatakan, "Allah-lah yang akan
menggantikanku mengurusmu."
Abu Qudamah melanjutkan, "Kemudian
bocah itu berusaha menguatkan
dirinya, namun nafasnya mulai sesak
dan bicaranya tidak jelas. Ia berusaha
kedua kalinya untuk menguatkan
dirinya dan berkata,
"Paman.. demi Allah, mimpi itu benar..
mimpi itu sekarang menjadi kenyataan.
Demi Allah, saat ini aku benar-benar
sedang melihat al-Mardhiyyah dan
mencium bau wanginya."
Lalu bocah itu mulai sekarat, dahinya
berkeringat, nafasnya tersengal-
sengal dan kemudian wafat di
pangkuanku."
Abu Qudamah berkata, "Maka
kulepaskan pakaiannya yang
berlumuran darah, lalu kuletakkan
dalam sebuah kantong, kemudian
kukebumikan dia. Usai
mengebumikannya, keinginan
terbesarku ialah segera kembali ke
Raqqah dan menyampaikan pesannya
kepada ibunya."
Maka akupun kembali ke Raqqah. Aku
tidak tahu siapa nama ibunya dan
dimana rumah mereka.
Tatkala aku menyusuri jalan-jalan di
Raqqah, terlihat olehku sebuah rumah.
Di depan rumah itu ada gadis kecil
berumur Sembilan tahun yang berdiri
menunggu kedatangan seseorang. Ia
melihat-lihat setiap orang yang
berlalu di depannya. Tiap kali melihat
orang yang baru datang dari
bepergian ia bertanya, "Paman.. Anda
datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," kata lelaki
itu.
"Kalau begitu kakakku ada
bersamamu..? " tanyanya.
"Aku tidak kenal, siapa kakakmu..?"
kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang kedua, dan
tanyanya,
"Akhi, Anda datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," jawabnya.
"Kakakku ada bersamamu?" tanya
gadis itu.
"Aku tidak kenal, siapa kakakmu..?"
kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang ketiga, keempat,
dan demikian seterusnya. Lalu setelah
putus asa menanyakan saudaranya,
gadis itu menangis sambil tertunduk
dan berkata, "Mengapa mereka semua
kembali tetapi kakakku tidak kunjung
kembali?"
Melihat ia seperti itu, akupun datang
menghampirinya. Ketika ia melihat
bekas-bekas safar padaku dan
kantong yang kubawa, ia bertanya,
"Paman.. Anda datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," jawabku.
"Kalau begitu kakakku ada
bersamamu?" tanyanya.
"Dimanakah ibumu?" tanyaku.
"Ibu ada di dalam rumah," jawabnya.
"Sampaikan kepadanya agar ia keluar
menemuiku," perintahku kepadanya.
Ketika perempuan tua itu keluar, ia
menemuiku dengan wajah tertutup
gaunnya. Ketika aku mendengar
suaranya dan ia mendengar suaraku,
ia bertanya,
"Hai Abu Qudamah, engkau datang
hendak berbela sungkawa atau
memberi kabar gembira?"
Maka tanyaku, "Semoga Allah
merahmatimu. Jelaskanlah kepadaku
apa yang engkau maksud dengan bela
sungkawa dan kabar gembira itu?"
"Jika engkau hendak mengatakan
bahwa anakku telah gugur di jalan
Allah, dalam keadaan maju dan
pantang mundur berarti engkau
datang membawa kabar gembira
untukku, karena Allah telah menerima
hadiahku yang telah kusiapkan untuk-
Nya sejak tujuh belas tahun silam.
Namun jika engkau hendak
mengatakan bahwa anakku kembali
dengan selamat dan membawa
ghanimah, berarti engkau datang
untuk berbela sungkawa kepadaku,
karena Allah belum berkenan
menerima hadiah yang
kupersembahkan untuk-Nya," jelas si
perempuan tua.
Maka kataku, "Kalau begitu aku
datang membawa kabar gembira
untukmu. Sesungguhnya anakmu telah
terbunuh fi sabilillah dalam keadaan
maju dan pantang mundur. Ia bahkan
masih menyisakan sedikit kebaikan,
dan Allah berkenan untuk mengambil
sebagian darahnya hingga ia ridha."
'Tidak!, kurasa engkau tidak berkata
jujur," kata si ibu sambil melirik kepada
kantong yang kubawa, sedang
puterinya menatapku dengan seksama.
Maka kukeluarkanlah isi kantong
tersebut, kutunjukkan kepadanya
pakaian puteranya yang berlumuran
darah. Nampak serpihan wajah
anaknya berjatuhan dari kain itu,
diikuti tetesan darah yang bercampur
beberapa helai rambutnya.
"Bukankah ini adalah pakaiannya..
dan ini surbannya.. lalu ini gamisnya
yang engkau kenakan kepada anakmu
sewaktu berangkat berjihad..?"
kataku.
"Allaahu Akbar..!!" teriak si ibu
kegirangan.
Adapun gadis kecil tadi, ia justru
berteriak histeris lalu jatuh terkulai
tidak sadarkan diri. Tidak lama
kemudian ia mulai merintih, "Aakh..!
aakh..!"
Sang ibu merasa cemas, ia bergegas
masuk kedalam mengambil air untuk
puterinya, sedang aku duduk di
samping kepalanya, mengguyurkan air
kepadanya.
Demi Allah, ia tidak sedang merintih..
ia tidak sedang memanggil-manggil
kakaknya. Akan tetapi ia sedang
sekarat!! Nafasnya semakin berat..
dadanya kembang kempis.. Lalu
perlahan rintihannya terhenti. Ya,
gadis itu telah tiada.
Setelah puterinya tiada, ia
mendekapnya lalu membawanya ke
dalam rumah dan menutup pintu di
hadapanku. Namun sayup-sayup
terdengar suara dari dalam, "Ya Allah,
aku telah merelakan kepergian
suamiku, saudaraku, dan anakku di
jalan-Mu. Ya Allah, kuharap Engkau
meridhaiku dan mengumpulkanku
bersama mereka di jannah-Mu."
Abu Qudamah berkata, "Maka kuketuk
pintu rumahnya dengan harapan ia
akan membukakan. Aku ingin
memberinya sejumlah uang, atau
menceritakan kepada orang-orang
tentang kesabarannya sehingga
kisahnya menjadi teladan. Akan tetapi
sungguh, ia tidak membukakanku
ataupun menjawab seruanku.
"Sungguh demi Allah, tidak pernah
kualami kejadian yang lebih
menakjubkan dari ini," kata Abu
Qudamah mengakhiri kisahnya
Lihatlah, bagaimana si ibu
mengorbankan segala yang ia miliki
demi menggapai kebahagiaan ukhrawi.
Ia perintahkan anaknya untuk
berjihad fi sabilillah demi keridhaan
Ilahi. Maka bagaimanakah nasib para
pemalas seperti kita. Apa yang telah
kita korbankan demi keridhaan-Nya?
"
(1.Ibnul Jauzi dalam komentarnya
mengatakan, "Wanita ini niatnya baik,
namun caranya keliru karena ia tidak
tahu bahwa perbuatannya itu - yakni
memotong kucirnya – terlarang,
karenanya dalam hal ini kita hanya
menyoroti niatnya saja.")
Wahai saudaraku...
Jika seorang wanita tadi yang tidak
memiliki harta untuk diinfakkan di
Jalan Allah, dia menginfakkan
rambutnya untuk dijadikan tali kekang
kuda dan merelakan anak laki-lakinya
yang masih muda belia untuk
berperang di jalan Allah. Lantas
apakah yang telah kita persembahkan
untuk agama ini...???
Adakah keinginan dalam diri kita
untuk mengukir nama kita sebagai
orang yang mengambil peran dan
berpartisipasi untuk dakwah ini...???
Maukah kita mengukir nama kita
dengan tinta emas sebagai pejuang –
pejuang dakwah di jalan Allah...???
Untuk itu wahai saudaraku...
Jika kita tidak memiliki harta yang
kita bisa infakkan, maka masih ada
jiwa dan raga kita dapat gunakan
untuk berdakwah dan masih ada
nikmat lisan yang diberikan kepada
kita untuk mengajak orang lain kepada
kebaikan. Untuk itu gunakanlah segala
potensi yang ada dalam diri kita untuk
dakwah ini.
Sumber: al-Musytaaquuna ilal
Jannah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar