Kamis, 26 November 2015

๐ŸŒบ Malu Sebenarnya ๐ŸŒบ

🍂Seorang hamba hendaklah merasa malu kepada Allah ta’ala dengan sebenar-benarnya rasa malu kepadaNya. Demikian inilah yang diperintahkan utusanNya Muhamad shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam sabdanya,

استحيوا من الله حق الحياء

"Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu." (HR. at Tirmidzi, no. 2458)

🍂Lalu, bagaimana caranya?
Simaklah penjelasan beliau-shallallahu ‘alaihi wasallam- selanjutnya,

ولكن الاستحياء من الله حق الحياء أن تحفظ الرأس وما وعى والبطن وما حوى ولتذكر الموت والبلى ومن أراد الآخرة ترك زينة الدنيا فمن فعل ذلك فقد استحيا من الله حق الحياء

"Akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah hendaknya kamu menjaga kepala dan apa yang terkumpul di dalamnya, menjaga perut beserta apa yang terhimpun padanya, hendaknya kamu mengingat kematian dan hancurnya jasad sesudahnya, barangsiapa menginginkan akhirat, niscaya dia meninggalkan perhiasan dunia, barang siapa melakukan hal itu, maka dia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya."

🍂 Menjaga kepala, yakni, menjaganya dari menggunakannya dalam hal selain ketaatan kepada Allah, hendaklah engkau tidak menggunakannya untuk sujud kepada selainNya, janganlah engkau shalat karena ingin dipuji, jangan engkau menundukkannya kepada selainNya, jangan engkau mendongakkannya karena sombong.

🍂 Menjaga apa yang terkumpul pada kepala, yakni, berupa lisan, mata, telinga. Yakni, menjaga kesemua itu dari menggunakannya untuk hal-hal yang tidak halal, (seperti ; menggunjing, melihat aurat orang lain, mendengarkan musik dll).

🍂 Menjaga perut, yakni, menjaganya dari mengonsumsi asupan makanan dan minuman yang haram.

🍂 Menjaga yang terhimpun pada perut, yakni, berupa sesuatu yang bersambung dengannya berupa kemaluan, kedua kaki, kedua tangan dan hati. Sesungguhnya, kesemua ini terhubung dengan perut.

🍂 Menjaga anggota-anggota ini yaitu dengan cara tidak menggunakannya untuk berbuat maksiat, namun hendaknya digunakan untuk mendulang keridhaan Allah ta’ala.

📚(Muhammad al-Mubarakfuri Abul ‘Ala, “ Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi ”, 7/131)

______________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar